“Kring...
kring... kring...”
Bunyi alarm memenuhi
seluruh ruangan kecil di sebuah rumah. Hari masih gelap, matahari masih
malu-malu untuk muncul, suara kokok ayam juga baru beberapa kali terdengar.
Hartini, nama gadis yang sedang mencoba melawan rasa kantuk. Tidurnya baru
sebentar, tapi sudah harus bangun lagi. Ia kembali harus menjalani hari ini
dengan sangat berat.
Hartini
melihat jam kecil yang warnanya sudah bercampur dengan warna debu, masih jam
empat. Dia belum telat. Segera Hartini mencuci mukanya, mengambil peralatan
bersih-bersih, kemudian melakukan pekerjaan rumah dengan penuh semangat.
“Mar,
bangunlah, dek! Ayuk ‘nak berangkat
kini.”
Hartini perlahan
membangunkan adik perempuannya, Martina dari peraduan mimpinya. Sudah hampir
jam lima subuh. Sudah saatnya Hartini keluar dari rumah kecilnya mencari
peruntungan di pelabuhan untuk bertransaksi jual beli ikan. Membeli sedikit
ikan, lalu menjualnya di
“Iyo, Yuk! Mar bangun, Yuk Tini pailah
kini, Mar bae yang jago Ibuk.”
Dengan baju hangat
yang sebenarnya sangat tipis, Hartini mengeluarkan motor butut mereka, menuju
pelabuhan. Sudah hampir dua minggu Hartini menggantikan pekerjaan yang biasa
dilakukan ibunya. Ibu Hartini terkena penyakit demam berkepanjangan yang membuatnya
harus terbaring lemah di tempat tidur. Hidup mereka miskin, hingga terpaksa
mengandalkan obat-obat yang dibeli dari warung. Hartini, gadis muda yang
terpaksa menggantikan pekerjaan ibunya demi memenuhi kebutuhan keluarga.
“Nah, Tini, sinilah.
Banyak ikan segar disiko, ‘nak beli yang mano?” Tawar salah satu
penjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) itu.
“Tini ‘nak ngambik
ikan tuna bae, Bang! Ado pesanan”.
“Tuna bae? ‘nak berapo kilo?”
“Tujuh kilo bae, Bang! Kalo banyak nian kelak idak abis.”
Transaksi jual beli
ikan pun usai, Hartini kembali mengendarai motornya menuju perumahan tempat
ibunya dan ia menjajakan ikan dagangannya. Dalam perjalanannya, terbersit
fikiran untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Namun apa
daya, desakan hidup membuatnya harus berfikir berkali-kali. Ibunya sakit,
ayahnya meninggalkan mereka sejak empat tahun lalu, dan adik perempuan
satu-satunya masih duduk di bangku SMP. Perjuangan di hari-hari depan masih
sangat panjang, seperti tidak ada waktu untuk berkuliah. Di waktu subuh itu,
Hartini melajukan motornya dengan perlahan, melawan dingin angin yang menusuk,
mencari beberapa rupiah untuk keluarga yang sangat dicintainya.
***
“Buk, kawan-kawan
Tini sms Tini, katonyo tobo ‘tuh lulus
SBMPTN. Banyak yang lulus di kampus negeri, Buk.”
Sambil menyuapi lembut ibunya, Hartini menceritakan kabar baik yang dialami
teman-teman sekolahnya.
“Alhamdullilah, Tin. Ibuk
senang dengarnyo.”
“Iyo, Buk. Tini jugo senang.”
Ibu Hartini tahu
bahwa anak gadisnya menyimpan kesedihan mendalam. Hartini adalah anak yang
sangat berprestasi sejak di bangku sekolah dasar. Di SMA nya saja, tidak pernah
Hartini mendapatkan peringkat selain peringkat satu dan dua.
“Tini, ibuk tau Tini sedih ‘kan? Tini jugo ndak
lanjut kuliah ‘kan?”
“Hahahaha... memang idak bisa ngicu Tini kalo kek Ibuk.
Tini diam-diam padahal, tapi Ibuk
selalu tau, yo.”
“Tini, ibuk minta maaf belum bisa ngasih kehidupan yang bagus untuk kito, nak! Tini ‘tuh anak yang berprestasi, tapi karno biaya belum bisa kuliah. Ibuk
minta maaf yo, nak!”
“Ibuk
‘nih ngapo
ngomong cak itu? Tini bersyukur punyo orang tua ‘cak ibuk. Ibuk ‘tuh kuat
nian menjaga kami. Subuh-subuh ibuk ‘lah
keluar jualan ikan, idak peduli dingin, hujan, panas. Tini
sekolah sampai SMA bae lah luar biaso, Buk. In sha Allah, kalo ado
rejeki kuliah, pasti ado ajo jalannyo kuliah, Buk.”
Tak kuasa air mata
Ibu Hartini mengalir. Ibu Hartini
sungguh terharu. Betapa bangganya Ia pada anak gadisnya, namun disisi
lain, rasa bersalah melingkupi hatinya.
Di tengah pembicaraan
haru mereka, bunyi telepon genggam milik Hartini tiba-tiba berbunyi. Ada
panggilan dari guru kelasnya, Ibu Siska.
“Assalammualaikum. Halo, Ibu Siska.”
“Waalaikumsalam, Nak. Hartini sedang sibuk,
tidak?”
“Tidak, Bu. Ada apa
kira-kira ibu menelpon siang-siang begini?”
“Nanti sore kamu bisa
ke rumah Ibu, tidak? Ada hal penting yang ingin Ibu bicarakan.”
“Sore ini bisa, Bu.
Sekitar jam 4 bagaimana, Bu?”
“Boleh juga jam
segitu. Ibu tunggu di rumah, ya. Wassalammualaikum.”
“Waalaikumsalam, Bu.”
Sambungan telepon pun
terputus. Hartini sungguh penasaran kira-kira apa yang akan dibicarakan oleh
guru yang sangat baik itu dengannya.
***
Tepat pukul empat,
Hartini tiba di rumah Ibu Siska. Ia pun disambut dengan hangat dan
dipersilahkan duduk di ruang tamu yang bergaya minimalis tersebut.
“Hartini, kamu tau ‘kan kalau kamu itu anak yang pintar
dan santun? Kamu anak yang juga sangat menyenangkan.” Ibu Siska membuka
perbincangan.
“Alhamdulillah, Bu. Ibu Siska ini selalu memuji
saya seperti biasanya.” Hartini merona.
“Hahahaha.....” Ibu
Siska tertawa kecil. Hartini semakin merona.
“Tini, ibu tanya
serius, ya. Kamu mau lanjut kuliah, tidak?” Tanya ibu Siska tiba-tiba.
“Wah, kalau Ibu tanya begitu, jawaban
saya sudah pasti mau, Bu.”
“Kamu sudah daftar di
kampus mana, Tin?”
“Tahun ini,
sepertinya saya belum lanjut, Bu. Ibu saya sakit dan tidak bisa bekerja, jadi
saya yang menggantikan untuk memenuhi kebutuhan di rumah, Bu. Adik saya masih
SMP, masih harus tetap lanjut sekolah, Bu.” Jawab Tini panjang lebar.
“Tin, Ibu sangat
salut pada kepribadian kamu. Kamu anak yang santun, pintar, mudah bergaul
dengan siapapun. Sayang sekali kalau anak cerdas seperti kamu tidak bisa lanjut
kuliah.”
“Ibu Siska terlalu
memuji, saya ini biasa saja ‘kok, Bu”
Hartini merendah.
“Sebenarnya, maksud
ibu mengudang kamu ke sini adalah mau menawarkan sesuatu.”
Hartini pun penasaran
dengan pernyataan guru nya itu.
“Ibu mau menawarkan
apa, Bu?
“Begini, Tin, kamu
tahu ‘kan kalau suami Ibu itu bekerja
di salah satu institut di kota kita? Nah,
ibu sudah banyak cerita ke suami ibu mengenai kamu. Suami ibu pun
merekomendasikan sesuatu supaya kamu bisa lanjut kuliah.”
“Rekomendasi apa,
Bu?” Hartini makin penasaran.
“Kalau kamu mau,
suami Ibu bersedia menemani kamu menemui Rektor tempat suami Ibu bekerja. Kamu
bawa semua bukti prestasi kamu, lalu kamu tunjukkan ke Rektor. Kamu juga
utarakan keinginan kamu yang besar untuk bisa lanjut kuliah. Siapa tau, ada
keringanan yang diberikan untuk masalah biaya perkuliahan.”
Hartini seketika
seperti mendapatkan angin segar. Ternyata ada jalan dari Tuhan bagi dia untuk
melanjutkan pendidikannya. Namun, tiba-tiba Hartini pun ragu.
“Tapi, Bu, pihak
kampus pasti meminta jaminan dari saya. Tidak mungkin mereka mau memberi
cuma-Cuma.”
“Tini, kamu itu anak
yang cerdas. Tuhan memberikan kamu kecerdasan yang lebih pasti ada maksudnya.”
Hartini diam. Ia
berpikir. Ia merasa perkataan Ibu Siska sangat benar. Ia yang selama ini hanya
menerima dan pasrah saja tanpa berusaha mencari jalan. Sekarang, Tuhan sudah
menunjukkan jalan untuk kuliah, dan Ia akan menggunakan jalan ini dengan
semaksimal mungkin, demi Ibunya, adiknya Martina, dan juga cita-citanya.
***
Jumat di pagi hari
sangat indah. Matahari datang dengan berani dan cerah hari ini. Seperti
matahari itu, Hartini juga harus berani menghadapi hari ini. Hari ini adalah
hari penentuan. Ia akan menemui Rektor salah satu kampus di kotanya ditemani
Pak Aldi, suami gurunya, Ibu Siska. Ia akan menunjukkan segala prestasinya
selama sekolah dan meyakinkan Rektor tersebut bahwa Ia layak untuk diberi
kesempatan berkuliah. Hari ini, Hartini siap.
“Sudah siap, Tin?”
Tanya Pak Aldi.
“In sha Allah, Pak. Saya siap.”
Mereka berdua pun
masuk ke ruangan Rektor dan dipersilahkan duduk. Hartini sedikit merasa grogi
ketika memperkenalkan diri dan menunjukkan segala prestasinya kepada Rektor
tersebut.
“Kamu sangat
berprestasi, ya! Tapi, saya mau tau jika kamu diberikan kesempatan
untuk kuliah di kampus ini, komitmen apa yang akan kamu buat?” Tanya Pak
Rektor.
Tepat seperti
perkiraan Hartini, pertanyaan ini pasti diajukan. Namun, Hartini mencoba tetap
tenang dan menjawab pertanyaan yang diberikan.
“Jika Bapak
memberikan saya kesempatan saya untuk berkuliah di kampus ini, saya punya
komitmen untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan menjaga IPK saya tetap empat
sampai saya lulus, Pak.” Jawab Hartini lantang.
Sang Rektor tampak
terkejut, namun sedikit memberikan senyuman.
“Lalu, kalau IPK kamu
tidak sampai empat, bagaimana?”
“Saya akan berusaha
menjaganya, Pak. Jika Bapak dapati IPK saya tidak empat saya siap dikeluarkan
dari kampus ini, Pak. Saya berjanji, Pak. Ini adalah kesempatan besar bagi saya
untuk kuliah dan saya akan menggunakannya sebaik mungkin. In sha Allah, saya akan bersunguh-sungguh, Pak.”
Pak Rektor diam lalu
akhirnya menyodorkan tangannya dan tersenyum.
***
Air mata haru tak
kuasa turun dari kedua mata indah milik Hartini. Di hari Jumat ini, tanggal 21
April 2017, tepat di momen perayaan Kartini, gadis muda bernama Hartini
mendapatkan hadiah yang spesial. Selangkah lagi, ia akan menjadi mahasiswa dan
mewujudkan mimpi dan cita-citanya. Perjuangan Kartini nyatanya membuat Hartini,
sosok Kartini masa kini terinspirasi dan berani melawan kerasnya hidup demi
sebuah kebahagiaan. Jika dulu, Kartini berjuang dalam surat-suratnya agar
perempuan juga mendapatkan perlakuan yang setara, khususnya di bidang
pendidikan, Hartini memakai perjuangan Ibu Kartini tersebut untuk berjuang dalam
hidupnya melawan kemiskinan, memakai kesempatan, dan meraih kebahagiaan.
Hartini sudah memenangkan perjuangannya, dan semoga perempuan Indonesia lainnya
juga ikut berjuang meraih mimpi mereka lewat perjuangannya masing-masing.
x