Selasa, 20 Maret 2018

Perempuan di Waktu Subuh



“Kring... kring... kring...”
Bunyi alarm memenuhi seluruh ruangan kecil di sebuah rumah. Hari masih gelap, matahari masih malu-malu untuk muncul, suara kokok ayam juga baru beberapa kali terdengar. Hartini, nama gadis yang sedang mencoba melawan rasa kantuk. Tidurnya baru sebentar, tapi sudah harus bangun lagi. Ia kembali harus menjalani hari ini dengan sangat berat.
            Hartini melihat jam kecil yang warnanya sudah bercampur dengan warna debu, masih jam empat. Dia belum telat. Segera Hartini mencuci mukanya, mengambil peralatan bersih-bersih, kemudian melakukan pekerjaan rumah dengan penuh semangat.
            “Mar, bangunlah, dek! Ayuk ‘nak berangkat kini.”
Hartini perlahan membangunkan adik perempuannya, Martina dari peraduan mimpinya. Sudah hampir jam lima subuh. Sudah saatnya Hartini keluar dari rumah kecilnya mencari peruntungan di pelabuhan untuk bertransaksi jual beli ikan. Membeli sedikit ikan, lalu menjualnya di
Iyo, Yuk! Mar bangun, Yuk Tini pailah kini, Mar bae yang jago Ibuk.”
Dengan baju hangat yang sebenarnya sangat tipis, Hartini mengeluarkan motor butut mereka, menuju pelabuhan. Sudah hampir dua minggu Hartini menggantikan pekerjaan yang biasa dilakukan ibunya. Ibu Hartini terkena penyakit demam berkepanjangan yang membuatnya harus terbaring lemah di tempat tidur. Hidup mereka miskin, hingga terpaksa mengandalkan obat-obat yang dibeli dari warung. Hartini, gadis muda yang terpaksa menggantikan pekerjaan ibunya demi memenuhi kebutuhan keluarga.
“Nah, Tini, sinilah. Banyak ikan segar disiko, ‘nak beli yang mano?” Tawar salah satu penjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) itu.
“Tini ‘nak ngambik ikan tuna bae, Bang! Ado pesanan”.
“Tuna bae? ‘nak berapo kilo?”
“Tujuh kilo bae, Bang! Kalo banyak nian kelak idak abis.”
Transaksi jual beli ikan pun usai, Hartini kembali mengendarai motornya menuju perumahan tempat ibunya dan ia menjajakan ikan dagangannya. Dalam perjalanannya, terbersit fikiran untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Namun apa daya, desakan hidup membuatnya harus berfikir berkali-kali. Ibunya sakit, ayahnya meninggalkan mereka sejak empat tahun lalu, dan adik perempuan satu-satunya masih duduk di bangku SMP. Perjuangan di hari-hari depan masih sangat panjang, seperti tidak ada waktu untuk berkuliah. Di waktu subuh itu, Hartini melajukan motornya dengan perlahan, melawan dingin angin yang menusuk, mencari beberapa rupiah untuk keluarga yang sangat dicintainya.
***
“Buk, kawan-kawan Tini sms Tini, katonyo tobo ‘tuh lulus SBMPTN. Banyak yang lulus di kampus negeri, Buk.” Sambil menyuapi lembut ibunya, Hartini menceritakan kabar baik yang dialami teman-teman sekolahnya.
Alhamdullilah, Tin. Ibuk senang dengarnyo.”
Iyo, Buk. Tini jugo senang.”
Ibu Hartini tahu bahwa anak gadisnya menyimpan kesedihan mendalam. Hartini adalah anak yang sangat berprestasi sejak di bangku sekolah dasar. Di SMA nya saja, tidak pernah Hartini mendapatkan peringkat selain peringkat satu dan dua.
“Tini, ibuk tau Tini sedih ‘kan? Tini jugo ndak lanjut kuliah ‘kan?”
“Hahahaha... memang idak bisa ngicu Tini kalo kek Ibuk. Tini diam-diam padahal, tapi Ibuk selalu tau, yo.”
“Tini, ibuk minta maaf belum bisa ngasih kehidupan yang bagus untuk kito, nak! Tini ‘tuh anak yang berprestasi, tapi karno biaya belum bisa kuliah. Ibuk minta maaf yo, nak!”
“Ibuk ‘nih ngapo ngomong cak itu? Tini bersyukur punyo orang tua ‘cak ibuk. Ibuk ‘tuh kuat nian menjaga kami. Subuh-subuh ibuk ‘lah keluar jualan ikan, idak peduli dingin, hujan, panas. Tini sekolah sampai SMA bae lah luar biaso, Buk. In sha Allah, kalo ado rejeki kuliah, pasti ado ajo jalannyo kuliah, Buk.”
Tak kuasa air mata Ibu Hartini mengalir. Ibu Hartini  sungguh terharu. Betapa bangganya Ia pada anak gadisnya, namun disisi lain, rasa bersalah melingkupi hatinya.
Di tengah pembicaraan haru mereka, bunyi telepon genggam milik Hartini tiba-tiba berbunyi. Ada panggilan dari guru kelasnya, Ibu Siska.
“Assalammualaikum. Halo, Ibu Siska.”
“Waalaikumsalam, Nak. Hartini sedang sibuk, tidak?”
“Tidak, Bu. Ada apa kira-kira ibu menelpon siang-siang begini?”
“Nanti sore kamu bisa ke rumah Ibu, tidak? Ada hal penting yang ingin Ibu bicarakan.”
“Sore ini bisa, Bu. Sekitar jam 4 bagaimana, Bu?”
“Boleh juga jam segitu. Ibu tunggu di rumah, ya. Wassalammualaikum.
“Waalaikumsalam, Bu.”
Sambungan telepon pun terputus. Hartini sungguh penasaran kira-kira apa yang akan dibicarakan oleh guru yang sangat baik itu dengannya.
***
Tepat pukul empat, Hartini tiba di rumah Ibu Siska. Ia pun disambut dengan hangat dan dipersilahkan duduk di ruang tamu yang bergaya minimalis tersebut.
“Hartini, kamu tau ‘kan kalau kamu itu anak yang pintar dan santun? Kamu anak yang juga sangat menyenangkan.” Ibu Siska membuka perbincangan.
“Alhamdulillah, Bu. Ibu Siska ini selalu memuji saya seperti biasanya.” Hartini merona.
“Hahahaha.....” Ibu Siska tertawa kecil. Hartini semakin merona.
“Tini, ibu tanya serius, ya. Kamu mau lanjut kuliah, tidak?” Tanya ibu Siska tiba-tiba.
“Wah, kalau Ibu tanya begitu, jawaban saya sudah pasti mau, Bu.”
“Kamu sudah daftar di kampus mana, Tin?”
“Tahun ini, sepertinya saya belum lanjut, Bu. Ibu saya sakit dan tidak bisa bekerja, jadi saya yang menggantikan untuk memenuhi kebutuhan di rumah, Bu. Adik saya masih SMP, masih harus tetap lanjut sekolah, Bu.” Jawab Tini panjang lebar.
“Tin, Ibu sangat salut pada kepribadian kamu. Kamu anak yang santun, pintar, mudah bergaul dengan siapapun. Sayang sekali kalau anak cerdas seperti kamu tidak bisa lanjut kuliah.”
“Ibu Siska terlalu memuji, saya ini biasa saja ‘kok, Bu” Hartini merendah.
“Sebenarnya, maksud ibu mengudang kamu ke sini adalah mau menawarkan sesuatu.”
Hartini pun penasaran dengan pernyataan guru nya itu.
“Ibu mau menawarkan apa, Bu?
“Begini, Tin, kamu tahu ‘kan kalau suami Ibu itu bekerja di salah satu institut di kota kita? Nah, ibu sudah banyak cerita ke suami ibu mengenai kamu. Suami ibu pun merekomendasikan sesuatu supaya kamu bisa lanjut kuliah.”
“Rekomendasi apa, Bu?” Hartini makin penasaran.
“Kalau kamu mau, suami Ibu bersedia menemani kamu menemui Rektor tempat suami Ibu bekerja. Kamu bawa semua bukti prestasi kamu, lalu kamu tunjukkan ke Rektor. Kamu juga utarakan keinginan kamu yang besar untuk bisa lanjut kuliah. Siapa tau, ada keringanan yang diberikan untuk masalah biaya perkuliahan.”
Hartini seketika seperti mendapatkan angin segar. Ternyata ada jalan dari Tuhan bagi dia untuk melanjutkan pendidikannya. Namun, tiba-tiba Hartini pun ragu.
“Tapi, Bu, pihak kampus pasti meminta jaminan dari saya. Tidak mungkin mereka mau memberi cuma-Cuma.”
“Tini, kamu itu anak yang cerdas. Tuhan memberikan kamu kecerdasan yang lebih pasti ada maksudnya.”
Hartini diam. Ia berpikir. Ia merasa perkataan Ibu Siska sangat benar. Ia yang selama ini hanya menerima dan pasrah saja tanpa berusaha mencari jalan. Sekarang, Tuhan sudah menunjukkan jalan untuk kuliah, dan Ia akan menggunakan jalan ini dengan semaksimal mungkin, demi Ibunya, adiknya Martina, dan juga cita-citanya.
***
Jumat di pagi hari sangat indah. Matahari datang dengan berani dan cerah hari ini. Seperti matahari itu, Hartini juga harus berani menghadapi hari ini. Hari ini adalah hari penentuan. Ia akan menemui Rektor salah satu kampus di kotanya ditemani Pak Aldi, suami gurunya, Ibu Siska. Ia akan menunjukkan segala prestasinya selama sekolah dan meyakinkan Rektor tersebut bahwa Ia layak untuk diberi kesempatan berkuliah. Hari ini, Hartini siap.
“Sudah siap, Tin?” Tanya Pak Aldi.
In sha Allah, Pak. Saya siap.”
Mereka berdua pun masuk ke ruangan Rektor dan dipersilahkan duduk. Hartini sedikit merasa grogi ketika memperkenalkan diri dan menunjukkan segala prestasinya kepada Rektor tersebut.
“Kamu sangat berprestasi, ya! Tapi, saya mau tau jika kamu diberikan kesempatan untuk kuliah di kampus ini, komitmen apa yang akan kamu buat?” Tanya Pak Rektor.
Tepat seperti perkiraan Hartini, pertanyaan ini pasti diajukan. Namun, Hartini mencoba tetap tenang dan menjawab pertanyaan yang diberikan.
“Jika Bapak memberikan saya kesempatan saya untuk berkuliah di kampus ini, saya punya komitmen untuk belajar dengan sungguh-sungguh dan menjaga IPK saya tetap empat sampai saya lulus, Pak.” Jawab Hartini lantang.
Sang Rektor tampak terkejut, namun sedikit memberikan senyuman.
“Lalu, kalau IPK kamu tidak sampai empat, bagaimana?”
“Saya akan berusaha menjaganya, Pak. Jika Bapak dapati IPK saya tidak empat saya siap dikeluarkan dari kampus ini, Pak. Saya berjanji, Pak. Ini adalah kesempatan besar bagi saya untuk kuliah dan saya akan menggunakannya sebaik mungkin. In sha Allah, saya akan bersunguh-sungguh, Pak.”
Pak Rektor diam lalu akhirnya menyodorkan tangannya dan tersenyum.
***
Air mata haru tak kuasa turun dari kedua mata indah milik Hartini. Di hari Jumat ini, tanggal 21 April 2017, tepat di momen perayaan Kartini, gadis muda bernama Hartini mendapatkan hadiah yang spesial. Selangkah lagi, ia akan menjadi mahasiswa dan mewujudkan mimpi dan cita-citanya. Perjuangan Kartini nyatanya membuat Hartini, sosok Kartini masa kini terinspirasi dan berani melawan kerasnya hidup demi sebuah kebahagiaan. Jika dulu, Kartini berjuang dalam surat-suratnya agar perempuan juga mendapatkan perlakuan yang setara, khususnya di bidang pendidikan, Hartini memakai perjuangan Ibu Kartini tersebut untuk berjuang dalam hidupnya melawan kemiskinan, memakai kesempatan, dan meraih kebahagiaan. Hartini sudah memenangkan perjuangannya, dan semoga perempuan Indonesia lainnya juga ikut berjuang meraih mimpi mereka lewat perjuangannya masing-masing.

x

Kakek dan Lagu Indonesia Raya


Kakek dan Lagu Indonesia Raya


Kring... kring... kring...!!!
Bunyi alarm dari telepon genggam mengingatkanku akan waktu. Sudah jam setengah lima sore sekarang. Aku harus bergegas menjemput gadis kecilku di tempat les bahasa Inggris. Segera ku bersiap diri, ku ambil kunci mobil dan langsung saja ku lajukan kendaraan beroda empat berwarna silver itu. Lima belas menit perjalanan aku sudah tiba ke tempat tujuan. Raniva belum keluar dari kelas bahasa Inggris nya. Sembari menunggu, aku keluar menuju deratan kursi tempat para orang tua duduk sambil menanti buah hati pulang. Aku duduk.
“Mama....”
Raniva seketika berlari begitu melihat wajahku. Ia memelukku manja.
“Wah, anak Mama sudah selesai les, ya? Ayo, kita pulang!”
Ku gandeng tangan mungil Raniva dan ku tuntun ia masuk ke dalam mobil. Kami bergegas menuju rumah. Pulang.
“Raniva, tadi les bahasa Inggris nya belajar tentang apa?” tanyaku memulai percakapan.
“Tadi Raniva belajar tempat-tempat liburan yang ada di Bengkulu, Ma. Kata Miss Tari di Bengkulu banyak tempat yang bisa kita kunjungi kalo lagi libur sekolah,” Raniva menjelaskan dengan antusias.
“Oh, ya? Seru donk, ya!” Aku pun membalas cerita Raniva dengan seksama.
“Iya, Ma! Tapi tempat yang dikasih tau Miss Tari ada yang udah pernah kita kunjungi waktu libur sekolah, Ma.”
“Oh, ya?” tanyaku penasaran. “Emang apa aja yang udah kita kunjungi, Nak?”
“Pantai Panjang, Ma. Kita kan sering banget jalan-jalan ke situ. Terus rumahnya Bapak Soekarno, sama satu lagi Fort Marlborough.”
“Nah, berarti Raniva harus seneng, soalnya Mama sama Papa sering ajakin Raniva jalan-jalan ke tempat liburan yang ada di kota kita. Iya kan?”
“Hehehehhe... iya yah, Ma! Liburan nanti ajakin Raniva pergi ke tempat yang belum pernah Raniva datengin ya, Ma!”
Aku membalas ajakan manja Raniva dengan senyuman lembut. Dalam hati aku berucap syukur atas kebahagiaan ini. Baru kusadari sudah besar ternyata gadis perempuanku ini. Sudah mampu merayu dengan wajah imut dan polosnya itu.
Tak lama kemudian, kami berdua tiba di rumah. Raniva lalu kuminta segera mandi dan membersihkan diri. Aku lalu menyiapkan pakaian dan perlengkapan Raniva. Kami tinggal bertiga, Raniva, aku, dan suamiku. Hanya saja, suamiku sedang bertugas di luar kota selama beberapa hari. Jadilah tinggal aku dan Raniva yang saat ini tinggal berdua.
“Mama, Raniva sudah selesai mandi.” Raniva mengejutkanku.
“Sini, keringkan dulu badannya, Nak!”
Raniva lalu menghampiriku untuk mengeringkan rambut dan badannya.
“Raniva, besok ada PR apa?” tanyaku sembari membalut rambutnya dengan handuk.
“Besok ada PR Bahasa Indonesia, Ma. Ibu guru suruh kami buat karangan.”
“Karangan apa?”
“Karangannya bebas, Ma. Tapi temanya harus tentang Pahlawan. Kata ibu guru sebentar lagi hari Pahlawan, Ma.”
“Oh, begitu. Nanati Mama bantu kerjakan PR. Sekarang, Raniva boleh nonton dulu, ya! Kalo Raniva sudah makan malam baru nanti kita kerjakan, ya!”
Raniva mengangguk. Aku melanjutkan mengeringkan rambutnya.
***
Seperti kebiasaan kami setiap malam, setelah makan malam adalah waktu bagi Raniva untuk belajar, juga waktu bagiku untuk mendampinginya membuat pekerjaan rumah.
“Raniva sudah tau mau membuat karangan tentang pahlawan yang mana?” tanyaku.
“Mama, pahlawan itu apa sih?”
Rupanya anak gadisku ini belum sepenuhnya paham tentang apa itu pahlawan.
“Pahlawan itu adalah orang yang sudah melakukan pekerjaan yang baik, dan pekerjaan yang dilakukannya berguna bagi banyak orang.” Jelasku pelan-pelan.
“Berguna bagi banyak orang?” tanya Raniva lagi. Ia bingung.
“Iya, sayang. Apa yang dilakukan pahlawan itu ada manfaatnya bagi banyak orang. Dia rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk melakukan kebaikan. Pahlawan itu orang yang sangat berjasa. Contohnya Soekarno dan Hatta. Mereka dulu rela meninggalkan keluarga dan berjuang supaya negara kita bisa merdeka seperti sekarang.”
“Berarti ibu guru juga orang yang berjasa dong, Ma?”
“Ibu guru?” tanyaku pelan.
“Iya, Ma. Ibu guru rela mengajari muridnya meskipun muridnya malas dan gak mau belajar di kelas.”
“Iya, Nak. Ibu guru juga bisa disebut sebagai pahlawan.”
“Berarti, Raniva buat karangan tentang Ibu Wulan aja, Ma. Ibu Wulan ‘kan baik banget udah ngajarin Raniva dan teman-teman. Padahal banyak temen Raniva yang suka berantem dan nakal di kelas.”
“Hahahahahha...” Aku tertawa kecil. “Iya. Sayang. Ibu Wulan itu salah satu pahlawan.”
Kalo Mama, menurut Mama pahlawan itu siapa?” tiba-tiba Raniva bertanya.
“Pahlawan menurut Mama?” aku mengulang pertanyaan Raniva.
Raniva mengangguk. Penasaran.
Aku diam sejenak. Teringat kembali memori-memori indah bersama orang yang saat ini sedang aku rindukan. Orang yang bisa dibilang menjadi sosok pahlawan dalam hidup, Bapak.
“Bagi Mama, pahlawan itu adalah Bapak nya Mama, kakek kamu, nak.”
“Kakek?”
“Iya, Kakek”
“Kenapa kakek, Ma?”
Aku lalu dihampiri rasa semangat ingin menceritakan kisah-kisah indah ku dulu kepada anak perempuanku.
“Dulu waktu Mama masih kecil, Mama itu dekat sekali dengan kakekmu.” Aku memulai cerita.
“Mama anak pertama. Waktu Mama sudah masuk TK, Mama belum punya adik, jadi Mama seperti anak tunggal. Disayang sekali.”
Raniva mendengar dengan serius.
“Kakek dan nenek mu punya usaha toko yang cukup besar. Jadi, ketika Mama masuk sekolah, Kakek dan Nenek bersepakat membagi tugas. Nenek bertugas mengurus toko, kakek mu yang bertugas mengantar jemput Mama sekolah.”
“Terus, Ma?”
“Nah, waktu di TK, Mama ingat sekali Mama pulang agak lama dari biasanya karena harus latihan untuk upacara Bendera. Ibu guru Mama bertanya siapa yang mau jadi petugas upacara. Waktu itu Mama sangat takut tampil di depan banyak orang. Jadi Mama diam saja.”
Ada seperti ledakan semangat masuk ke rongga jantungku.
“Tanpa Mama duga, kakek mu yang menyaksikan dari belakang barisan langsung angkat tangan dan berteriak”
“Kakek bilang apa, Ma?”
“Kakek mu bilang, ‘Bu Guru, itu anak saya saja yang jadi pemimpin lagu Indonesia Raya’. Kakek bilang begitu sambil menunjuk ke arah Mama. Akhirnya, Mama disuruh maju dan ditunjuk untuk jadi dirigen lagu.”
“Hahahahahaha.... Berarti Kakek Raniva itu orang yang pemberani banget ya, Ma”
“Hahahahahaha.... bukan Cuma pemberani, tapi juga nekat.”
Kami berdua tertawa bersama-sama. Kami menikmati cerita.
“Terus apa lagi, Ma? Lanjutin ceritanya, Ma!”
“Jadinya Mama bingung. Mama ‘kan belum pernah belajar mimpin lagu. Akhirnya, Kakek kamu di rumah ajarin Mama.”
Emangnya kakek bisa mimpin lagu, Ma?”
“Wah, jangan salah, Kakek kamu itu apa aja bisa. Jadi dirigen bukan masalah buat Kakek. Waktu di rumah, Kakek nyuruh Mama ambil dua batang lidi sebelum belajar mimpin lagu.”
“Lidi? Untuk apa, Ma?”
“Awalnya Mama bingung. Ternyata, lidi itu diibaratkan jadi tongkat pemimpin lagu dalam kelompok musik atau paduan suara. Mama juga tahu itu waktu udah SMP.”
“Hahahahhahaha..... Kakek lucu ya, Ma. Lucu tapi juga hebat.” Raniva tertawa lepas.
“Jadi, gara-gara Kakek ajarin Mama mimpin lagu Indonesia Raya, makanya Mama anggap Kakek sebagai pahlawan ya, Ma?” tanya Raniva polos.
“Raniva, Kakek bagi Mama bukan cuma sebagai orang tua, tapi juga guru sekaligus pahlawan.” Aku menjelaskan pelan-pelan.
“Mungkin bagi orang lain, Kakek mu mengajari Mama memimpin lagu Indonesia Raya itu adalah hal kecil, namun bagi Mama itu adalah kenangan luar biasa yang menghantarkan Mama menjadi pribadi yang berguna. Setelah Mama bisa memimpin lagu Indonesia Raya, Mama jadi sering sekali ditunjuk untuk jadi dirigen baik di SD, SMP, juga sampai Mama kuliah dulu. Bahkan Mama pernah jadi dirigen di berbagai acara. ”
“Wah, Mama serius?”
“Iya, Nak! Dan, yang paling penting adalah, Kakek mengajari Mama untuk meresapi setiap kata yang ada di lagu Indonesia Raya. Mengingatkan Mama tentang perjuangan para pahlawan kita yang rela berkorban demi bangsa dan negara. Dan itu membuat Mama semakin mencintai Indonesia.”
Raniva mendengarkan dengan seksama. Ia sangat bersemangat mendengar cerita ku. Lalu aku berhenti. Raniva diam. Kami saling menatap.
“Kakek betul-betul seperti pahlawan ya, Ma!” tiba-tiba Raniva berucap.
Aku tersenyum. Hatiku menghangat. Betapa aku bahagia mendengar ucapan Raniva tentang Kakeknya. Biarpun Raniva belum sempat berjumpa dengan kakeknya, namun pengalaman yang kuceritakan pada Raniva bisa menjadi penghubung antara keduanya.
“Nah, Mama sudah cerita. Sekarang waktunya Raniva mengerjakan PR nya, ya!” aku mengingatkan Raniva.
“Ma, aku mau buat karangan tentang Kakek aja, deh!”
“Loh, gak jadi tentang Ibu Wulan?” tanyaku.
“Gak jadi ah, Ma! Soalnya pasti banyak yang buat karangan tentang Ibu Wulan.”
“Memangnya menurut Raniva, Kakek juga pahlawan, ya?”
“Iya, Ma. Kakek itu pahlawan karena sudah jadi orang tua yang baik untuk Mama, dan jadi Kakek yang hebat untuk Raniva.”
Aku semakin bahagia. Air mata haru hampir saja jatuh. Tapi kutahan.
“Nah, Ma. Raniva punya ide untuk judul karangan Raniva.”
“Apa judulnya, sayang?”
“Raniva kasih judul, ‘Kakek dan Lagu Indonesia Raya’. Bagus gak, Ma?”
Senyum lebar-lebar keberikan. Anak gadisku sungguh pandai.
“Wah, judulnya bagus sekali. Pasti isi karangannya juga akan jadi karangan yang keren.”
Raniva senyum sambil menunjukkan gigi kelincinya. Akhirnya malam ini kami habiskan berdua dengan suasana yang sangat manis.
“Ma, kapan-kapan kita ke kuburan Kakek, ya! Raniva mau bacain karangan Raniva buat Kakek.”
Malam ini indah. Langitnya penuh bintang-bintang yang terang. Entah kenapa, aku yakin salah satu alasan mengapa bintang-bintang itu bersinar sangat terang malam ini, karena mendengar percakapan Raniva dan aku.
Terimakasih, pahlawanku!
Terimakasih, Ayah!

Kamis, 03 Maret 2016

Jika Bukan Kita, Siapa Lagi?




Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa besar yang kaya akan budaya, kesenian dan bahasa. Di Indonesia sendiri, terdapat keanekaragaman suku budaya yang menyebar dari Sabang sampai Merauke yang masing-masing budaya memiliki bahasa daerah tersendiri. Menurut data yang didapat, sebanyak 746 bahasa ibu atau bahasa daerah menghiasi khazanah budaya bangsa. Dari 746 bahasa itu, tersisa 75 bahasa saja yang berhasil melewati seleksi alam dan mampu bertahan hingga saat ini. 

Hilangnya bahasa ibu yang hanya meninggalkan 75 bahasa daerah tersebut mungkin dikarenakan masing-masing bahasa yang tidak memiliki sistem aksara. Dari 75 bahasa yang tersisa saja, hanya 9 bahasa daerah yang memiliki sistem penulisan, yakni bahasa Jawa, Melayu, Aceh, Lampung, Batak, Bugis, Bali, Sasak, dan Sunda. Dari 75 bahasa hanya 9 bahasa saja yang memiliki sistem aksara, lalu bagaimana dengan 66 bahasa lain yang tersisa yang hanya diajarkan dan dilakukan secara lisan?

Hal ini menjadi keprihatinan bagi bangsa kita. “Bahasa menunjukkan identitas suatu bangsa”,  ungkapan para bijak bestari masa lalu sepertinya lambat laun hanya akan menjadi ungkapan yang diwariskan dari pendahulu kita ke generasi berikutnya. Melalui ungkapan tersebut, pendahulu kita pastilah mengharapkan kita untuk tetap menjaga, memelihara, dan melestarikannya sebagai identitas sebuah bangsa, namun kenyataan yang ada sepertinya sedikit bertabrakan dengan harapan tersebut.

Lain bahasa ibu, lain lagi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang dikukuhkan sebagai bahasa resmi bangsa kita sejak Ikrar Sumpah Pemuda 1928 juga mulai terancam keberadaannya. Melalui arus globalisasi, westernisasi, dan modernisasi, bahasa Indonesia menjadi pilihan kedua setelah bahasa asing. Padahal jika kita renungkan sejenak, bahasa Indonesia memiliki banyak sekali nilai tambah dibandingkan dengan bahasa asing. Selain bahasa yang mudah karena tidak ada perubahan kata kerja meski dalam waktu yang berbeda, bahasa Indonesia tidak memiliki tingkatan bahasa. Ini membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa yang adil dan dapat digunakan oleh seluruh warga bangsa dari setiap tingkatan masyarakat yang ada. 

Berdasarkan Ikrar Sumpah Pemuda 1928 dalam butir ketiga, sama sekali tidak menyebutkan berbahasa satu seperti yang disebutkan dalam butir pertama (bertumpah dara satu) dan butir kedua (berbangsa satu). Butir ketiga berbunyi bahwa putra-putri Indonesia akan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Makna dari butir ketiga ini adalah bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus kita gunakan dan pelihara sebagai sarana berkomunikasi, sementara bahasa daerah atau bahasa ibu juga memiliki hak hidup yang sama dalam konteks kebudayaan daerah dan harus tetap dijaga. 

Sayangnya, makna mulia dari butir ketiga dalam Sumpah Pemuda 1928 dewasa ini semakin dilupakan. Pemuda dan pemudi bangsa sepertinya lupa dengan perjuangan pahlawan terdahulu yang dengan segenap hati dan pikiran bersama merumuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Budaya asing dianggap lebih berkelas dibanding budaya sendiri. Banyak aspek kehidupan di negara kita lebih mengistimewakan bahasa asing dibanding bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. 

Di bidang pendidikan misalnya, menjamurnya RSBI/SBI yang menjadikan bahasa Inggris sebagai pengantar suatu mata pelajaran dianggap sebagai suatu kekeliruan. Bahasa Inggris berkuasa di sekolah Indonesia, bukankah hal ini suatu hal yang cukup aneh. Memang kita tidak boleh apatis terhadap bahasa Inggris, bagaimanapun bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang memang sangat dibutuhkan dalam kegiatan global. Namun hal ini sepertinya semakin menggeser bahasa Indonesia dan sedikit demi sedikit menghilangkan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Jika kita bersatu menjaga dan memodernkan bahasa Indonesia, dan tentunya aspek ekonomi, hukum, dan politik kita juga baik, bukan hal yang tidak mungkin kita bisa mensejajarkan bahasa Indonesia ke kancah dunia, seperti bahasa Mandarin dari Cina yang makin kuat keberadaannya di mata dunia. 

Bahasa juga bagian dari budaya. Dalam bidang kebudayaan sendiri pun bangsa kita kebablasan. Kita lebih tertarik menonton film buatan luar negeri dan seringkali berbicara ‘gado-gado’ mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Dalam hal ini, kita mesti banyak belajar dari Jepang. Jepang sukses mempertahankan budaya dan bahasanya tanpa perlu apatis dengan keadaan dunia luar. Korea Selatan juga bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita, khususnya pemuda. Bagaimana Korea Selatan memperkenalkan budaya dan bahasanya kepada bangsa lain. Drama, musik, bahkan artis-artis Korea Selatan kini sangat dikenal dan populer di Indonesia bahkan melebihi kepopuleran apa yang dimiliki Indonesia sendiri. 

Pertanyaannya sekarang adalah, kapan bangsa kita, bangsa Indonesia bisa melakukan hal tersebut? Pertanyaan ini harus kita jawab dari hati kita masing-masing, mulai dari komitmen kita masing-masing.  Peran pendidikan pun sangat diharapkan disini. Mata pelajaran Bahasa daerah mungkin bisa menjadi alternatif pelajaran yang bisa dimasukkan dalam kurikulum. 

Untuk RSBI/SBI sendiri, saya tidak berani memberi komentar. Hanya saja menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pelajaran sepertinya kurang begitu pas. Saya rasa, bahasa kita, bahasa Indonesia sudah sangat baik dan tidak lebih rendah dari bahasa manapun. Selain itu, jam pelajaran bahasa Inggris saya rasa sudah cukup untuk membiasakan siswa menggunakan bahasa Inggris asalkan benar-benar dibarengi dengan semangat belajar yang tinggi dan keterampilan dalam memanajemen waktu belajar. Tujuan dari siswa-siswi sekolah RSBI/SBI menurut saya adalah siswa-siswi yang mampu bersaing di pertandingan dunia tanpa melupakan bahasa Indonesia sebagai identitas suatu bangsanya.

            Beberapa waktu yang lalu saya membaca artikel tentang acara “X-FACTOR AROUND THE WORLD”. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa sebagian besar penonton tertawa ketika mendengar salah satu juri X-FACTOR, yaitu Ahmad Dhani yang terbata-bata berbicara bahasa Inggris. Saya melihat bahwa sekarang bangsa kita telah dengan terang-terangan menjunjung tinggi bahasa asing dan mulai meninggalkan bahasa ibu pertiwi. Bukankah harusnya juri tamulah yang harus belajar bahasa Indonesia, bukannya kita yang harus dipaksa berbahasa mereka. Lagipula, wajar jika kita belajar bahasa negara lain yang akan kita kunjungi. 

            Harapan saya, semoga bahasa Indonesia dan bahasa daerah Indonesia tetap jaya sebagai bagia dari kekayaan budaya Bangsa. Kita pun sebagai pemuda harus tetap menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia sesuai dengan yang telah dituliskan dalam butir ketiga Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Semoga bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa pemersatu dan sarana komunikasi yang baik bagi seluruh bangsa dari setiap daerah yang ada. Maju terus bahasa Indonesia.

Salam Bahasa Indonesia!

Kamis, 22 Oktober 2015

Dear, LIBRA... (The Last Letter)





Singapura, 13 Januari 2021

Dear, LIBRA...

Li, apa kabar mu? Masih ingat aku tidak? Aku teman mu di Perguruan Tinggi dulu. Kita beda jurusan dan angkatan, memang! Tapi kita sama-sama belajar di wadah mahasiswa yang sama. Kita sama-sama pengurus BEM di Kampus Sriwijaya delapan tahun silam. Kita sama-sama dalam satu divisi yang sama. Kau, kepala bidang waktu itu. Aku,  sekretaris divisi mu yang kau bilang sekretaris paling cerewet sepanjang masa.

Li, mungkin kau terkejut menerima surat ini. Begitupun aku. Aku benar-benar tak tahu kenapa harus menulis surat ini dan mengirimkannya kepada mu. Aku benar bingung kenapa setelah sekian tahun tanpa komunikasi melalui media apapun, aku mencari-cari lagi alamat  e-mail mu agar dapat kukirimkan ini. Yang kutahu, aku tersentak akan suatu peristiwa yang akan datang, serta diingatkan lagi dengan perasaan dulu-dulu, kepadamu. Aku merasa, sebelum aku akan segera dihadapkan pada suatu peristiwa, harus terlebih dahulu kutuntaskan perasaan dulu agar kita (atau lebih tepatnya aku), bisa lebih ringan menjalani hari-hari depan.

Li, jika kau masih ingat, pernah juga kutuliskan surat cinta monyet pada mu dulu. Surat cinta monyet itu, ya tentang perasaan suka-sukaan adik kelas ke kakak tingkatnya. Dan kau anggap itu hanya candaan, lalu kau juga yakinkan aku bahwa itu hanya rasa suka dan sesaat, jangan terlalu di dalami, nanti sesat. Akupun mengangguk menurut. Ya, itu hanya perasaan sesaat yang sesat. Itu sesaat. Itu sesat.

Dengan keyakinan itu, aku coba berhenti. Meski tak sepenuhnya berhenti, karena aku masih belum yakin bahwa itu hanya perasaan sesaat yang sesat. Aku justru semakin membuat rasa suka mengendap, sampai perasaan ‘suka’ ini naik ke level ‘cinta’. Dan setelahnya, aku makin dan semakin dilema. Kau taulah, anak perempuan semester lima yang belum pernah tau ada apa dibalik kata ‘pacaran’ yang juga cintanya masih membara. Waktu itu aku masih galau-galaunya dan yakin-yakinnya bahwa kaulah yang akan menjadi pendamping hidup. Duh, berlebihan ya? Ya, sekali lagi maklumi saja, namanya juga anak semester lima.

Li, setelah kau lulus, dari sanalah awalnya kita semakin sibuk dan tiada kata sapa pada akhirnya. Kita semakin sibuk pada dunia masing-masing. Selepas kau lulus dan kembali ke kampung mu di Jambi, aku hanya bisa ‘menguntit’ dari status-status mu di Facebook dan BBM. Terus-terusan ku cek apa saja yang kau update di dunia maya, lalu kuterjemahkan sendiri. Lalu beberapa bulan kemudian, BBM mu off, jadi aku hanya mengandalkan Facebook saja untuk mengetahui apapun tentang mu. Itu kulakukan dari semester enam sampai aku lulus kuliah, menguntit mu melalui media. Aku penguntit yang setia, bukan? 

Li, sebulan setelah aku lulus kuliah, entah dengan alasan apa, tiba-tiba saja aku tidak bisa lagi menemukan akun Facebook mu. Kata teman-temanku, mungkin kau sendiri yang dengan sengaja menutup akun mu. Jujur saja, agak sedih dan kecewa kurasa. Mengetahui semua kegiatan mu dari Facebook sudah menjadi kebiasaan hampir setahun lebih kulakukan. Itu hal yang sangat menyenangkan buat ku. Namun ya, kau sudah tutup akun, aku bisa apa? Setelahnya, aku benar-benar tak tahu apapun lagi tentang mu. Tapi yang makin jelas adalah, aku semakin dan semakin menyukai mu, entah karena apa.

Li, bulan depan aku akan menikah. Tepat di tanggal 27 di bulan lahir mu, Februari. (Dulu aku pikir, karena namamu Libra maka kau lahir di sekitaran zodiak yang sama. Ternyata kau malah lahir di bulan Februari dua hari sebelum hari kasih sayang.) Jadi, pada akhirnya inilah tujuan ku mengirim surat ini padamu. Tujuan lainnya, karena aku merindukan mu. Aku rindu bebagi cerita dengan mu. Tapi jangan kau pikir aku tidak mencintai calon suami ku, kami sama-sama orang Indonesia yang merantau ke Singapura. Dia sangat menjaga ku, juga mencintai aku. Sebaliknya aku. Kami saling mencintai. Dan kami akan segera menikah. 

Li, tahun ini usiamu 28 tahun kan? Bagaimana cerita cinta mu? Aku harap kau pun beruntung dengan kisah kasih mu dan bertemu dengan perempuan yang tepat. Kau orang yang penuh pertimbangan memang, namun jika sudah bertemu perempuan yang sesuai, jangan terlalu lama mempertimbangkannya, nanti malah kau tak dapat. 

Lalu, melalui surat ini juga aku mengundang mu, Li. Aku akan menikah di Palembang, datanglah jika sempat. Jarak Palembang-Jambi tidak begitu jauh, kan. Nanti jika jumpa, aku ingin mengenalkanmu pada dia. Entah kenapa, ingin saja. 

Dan Li, akhirnya beginilah kita. Kita tetap tidak disatukan oleh Tuhan meski banyak malam telah kumintakan padaNya. Tapi rancangan Tuhan lebih indah. Tuhan tidak mengabulkan ingin ku untuk punya takdir padamu, tapi dia mempertemukan aku dengan lelaki yang benar-benar baik. Kau pun begitu pastinya. Aku tidak cukup baik untuk mu, kita tidak cukup baik bagi satu sama lain. Jadi kita tak baik jika bersatu. 

Li, di akhir surat ini, aku ingin kita bisa saling bertemu dan menyapa lagi. Sebenarnya dari awal kita tidak punya masalah apapun untuk diribetkan. Kita partner saat kuliah dulu, kita berteman dan bersahabat baik. Hanya saja ruang dan waktu yang membedakan kita, lalu kesibukan pun menyita kesempatan untuk saling menyapa. Semoga saja, Tuhan segera mempertemukan kita dalam versi dewasa dan bijak di tengah kematangan umur kita, untuk tetap saling bercengkerama. 

Ah, iya... Li, calon suami ku bernama Harry. Dia titip salam pada mu. 

Semoga e-mail mu masih tetap aktif ya...

Tuhan memberkati mu, Li!

Salam Kasih

-          Raniva